WAYANG KRUCIL WARISAN BUDAYA NAN RUPAWAN

12.49

 Halo ngalamers! Bicara tentang kota ngalam alias malang, memang tidak ada habis-habisnya. Kota dengan sejuta kebudayaan dan masyarakatnya yang enerjik, religius, dan ramah, serta bangga dengan identitasnya sebagai Arek Malang (Arema) yang menjunjung tinggi kebersamaan dan kesetiaan kepada kota tercintanya, kota Malang. Dari sejuta kebudayaan yang ada di Malang, mulai dari tari topengnya, kesenian bantengannya, boso walikannya, dan budaya-budaya lainnya, terselip satu budaya yang tak kalah indah dan melengenda yaitu “Wayang Krucil”. Wayang memang identik dengan Jawa, namun apa bedanya Wayang Krucil dengan Wayang yang lain?
            Kesenian Wayang Krucil memang tak sepopuler Wayang Kulit ataupun Wayang Golek yang sering dipentaskan masyarakat. Di wilayah Malang, seni tradisi ini pernah mengalami masa keemasan di tahun 60'an Ngalamers. Setara dengan Topeng Malangan (dari Pakisaji) dan Wayang Kulit (Purwa). Wayang Krucil tak sekadar benda pementasan seni, namun juga mempunyai nilai-nilai budaya yang tinggi. Sekaligus berperan sebagai media hiburan rakyat yang sarat dengan muatan sejarah, aspek moral dan etika. Pada puncak kejayaannya, Wayang Krucil tersebar hampir di seluruh daerah. Bermula dari Kabupaten Nganjuk, lalu ke Kabupaten Kediri, dan menyebar hingga kawasan Kabupaten Malang. Kini posisinya semakin tergusur semakin membanjirnya kebudayaan modern. Bahkan pementasannya-pun sulit dijumpai, Ngalamers. Kecuali, dalam acara-acara ritual yang terkait dengan bersih desa dan nadar.


            Seperti ditelan jaman. Saat ini Wayang Krucil hanya tersisa beberapa saja. Salah satunya, Wayang Krucil milik Paguyuban Mardi Laras di Desa Garu, Kecamatan Baron, sekitar 15 kilometer sebelah timur Kabupaten Nganjuk. Lainnya, Wayang Krucil milik Mbah Yem/Pak Jain di Dukuh Wiloso, Desa Gondowangi, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang. Wayang Krucil yang ada di Desa Gondowangi menjadi satu-satunya wayang krucil yang paling lengkap (utuh) berjumlah 75 buah, meski yang 3 buah dalam kondisi rusak. Sedangkan di desa Garu Kabupaten Nganjuk, kondisinya tidak lengkap namun gamelan aslinya masih terawat. Sedangkan di desa lainnya, Wayang Krucil sudah punah dan tak memiliki pewaris lagi.

           
Khususnya di sebuah desa bernama Gondowangi, Wayang Krucil dianggap sebagai bagian dari keberadaan desa, perawatannya berlangsung turun-temurun. Keberadaannya sudah sebagai benda pusaka yang dianggap sakral oleh masyarakat sekitar. Pementasan dalam upacara Syawalan (setiap minggu awal bulan Syawal) setahun sekali adalah hal wajib. Kesakralannya terwujud dalam upacara pagelaran yang harus disertai sesajen khusus, dan dibacakan mantra oleh Mbah Yem, selaku pemilik turun temurun. Wayang Krucil dibuat dari Kayu Pule atau Mentaos berbentuk pipih. “Kayu pule atau Mentaos memiliki serat halus, kalau dibuat wayang hasilnya bagus. Namun, kayu ini sekarang susah didapat. Dari segi fisik, Wayang Krucil yang memiliki ketebalan 2-3 centimeter, bentuknya mengarah tiga dimensi. Mungkin hal itulah yang membuat karakter tokoh-tokoh pada Wayang Krucil terkesan lebih bernyawa dibanding Wayang Kulit.
            Perbedaan lainnya yaitu jika pada Wayang Kulit (purwa) satu wayang mewakili satu tokoh atau satu karakter dan juga memiliki satu nama. Pada Wayang Krucil 'Panji Asmorobangun' ini satu wayang bisa bergantian memerankan beberapa tokoh dan karakter. Tokoh Baladewa misalnya, digunakan ketika sang dalang mengambil sumber cerita Mahabarata. Tetapi, ketika mengangkat cerita Menak, tokoh ini digunakan sebagai figur Prabu Rusmantono, Raja Sindukaas. Sedang Bima (Bratasena) menjadi tokoh Raja Lamdaur Alam dari Kerajaan Srandil. Seperangkat gamelan 'Mardi Laras' selalu mengiringi pementasan kesenian Wayang Krucil ini. Dengan 10-an pemusik (penabuh) dan 2 pesinden (penyanyi).



            Dari sisi cerita,  Wayang Krucil mengambil beberapa sumber, diantaranya cerita yang berkaitan dengan Kerajaan Kediri. Seperti kisah Panji Semirang Panji Asmara Bangun, Candra Kirana, atau 'sempala'n seperti Lakon Lembu Amiluhur Krido. Cerita rakyat tentang perlawanan kepada Belanda juga diangkat. Atau, cerita lain seputar Walisongo dan pendirian Kerajaan Islam Demak. Bahkan ada juga cerita dari Serat Menak yang diadaptasi dari Persia yang berkaitan dengan perkembangan agama Islam. Namun, untuk penamaan tokohnya sudah diadaptasi. Sang Dalang juga bisa mengambil sumber cerita sendiri yang dikenal sebagai Lakon Carangan.
            Namun sangat disayangkan, Wayang Krucil di Desa Gondowangi kini dalam kondisi yang memprihatinkan. Tak banyak yang peduli, hanya segelintir seniman saja. Yang lebih disayangkan, pemerintah daerah setempat pun tak banyak berbuat. Inilah yang menjadi kekhawatiran seorang seniman lokal. Menghidupkan kembali kejayaan Wayang Krucil, dan tetap melestarikan kesenian. Setiap tahun rata-rata Wayang Krucil hanya bisa tampil 2-3 kali. Biasanya, untuk memeriahkan kegiatan bersih desa, hari ulang tahun Kabupaten Malang, atau pementasan rutin di even tahunan seperti “Malang Tempo Doeloe”.
            Nah, keberadaan Wayang Krucil ini sudah hampir punah di tengah himpitan budaya modern yang tak terbendung, banyak orang yang tidak peduli dengan warisan budayanya sendiri padahal banyak sekali niai-nilai kebudayaan yang ada di dalamnya, sudah saatnya kesenian tradisi menemukan pewarisnya di rumah sendiri. Kalau bukan kita yang mewariskan, lantas siapa lagi?
  Sumber : Halomalang

Ditulis oleh :
Dwi Setyani
B KOM 1
Kelompok 28
Ilmu Komunikasi 2016

You Might Also Like

0 komentar